Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un -Telah Wafat KH Sahal Mahfuzh Kajen Pati Jawa Tengah (Rois 'Aam PBNU dan Ketua Umum MUI- lahul fatihah

Jumat, 17 Oktober 2008

AL-GHAZALI ; Cahaya Kemilau Para Mursyid


Satu masa pada perjalanan kaum muslimin pernah terjadi perselisihan antara kubu fiqh (syari’ah zohir) dankubu tasowwuf (syari’ah batin). Pandangan Imam Malik r.h. bahwa orang berfiqih tanpa bertasowwuf cenderung menjadi fasiq dan bertasowwuf tanpa berfiqih cenderung menjadi zindiq, belum dapat menyatukan dan mendamaikan kedua kubu ini. Perseteruan terus berlanjut sampai tampillah Imam Al-Gozali q.s. dengan Ihya Ulumiddinnya.

Walaupun tidak semua sepakat, namun beliau secara umum berhasil mendamaikan kedua kubu tersebut. Masing-masing ditempatkan secara proporsional. Hubungan keduanya dapat dibangun dengan harmonis jalin menjalin sebagai kesatuan keIslaman.

Nama lengkap Imam Al-Gozali q.s. adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Gozali At-Tusi An Naisaburi. Beliau dilahirkan di Tus Khurosan Iran pada tahun 450 Hijriyyah bertepatan dengan 1058 Masehi.

Ayah beliau adalah seorang pemintal wol yang fakir harta tapi kaya spiritual. Ayah beliau wafat pada saat beliau masih dalam kandungan. Bersama saudara kandungnya Ahmad, Al-Gozali diasuh oleh seorang sufi teman ayahnya.

Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikan di madrasah daerah Tus. Beliau belajar fiqih kepada Ahmad bin Muhammad At-Tusi r.h.. Dari sana beliau melanjutkan ke Jurjan untuk belajar kepada Imam Abu Nasr Al-Isma’ili r.h..

Pulang dari Jurjan beliau kembali ke Tus. Di desanya ini beliau habiskan waktu tiga tahun untuk menghapal semua ilmu yang telah dicatatnya.

Semangat ilmiyyah mengantarkan beliau ke Naisabur – salah satu daerah ilmiyyah di zaman itu. Di sini beliau belajar kepada seorang ulama besar – Imam Al-Haromain Abul Ma’ali al-Juwaini r.h.

Dari Naisabur ini karir ilmiyyah Al-Gozali mulai melesat. Wawasannya berkembang luas. Penguasan terhadap berbagai ilmu berikut aliran serta sektenya semakin mendalam. Di kalangan ilmiyyah beliau dikenal sangat ahli dan piawai dalam berbagai bidang.

Di Naisabur ini beliau bertahan sampai Imam Haromain r.h. wafat. Setelah kewafatan guru tercinta tersebut, beliau melangkah menuju Bagdad.

Di Bagdad beliau mencapai kemashuran dan puncak karir. Keahlian dan kecerdasan mengantarkan beliau menjadi guru besar di An-Nizomiyyah – perguruan tinggi utama di zamannya.

Di puncak karir itu beliau mengalami keguncangan spiritual. Lingkungan ilmiyyah yang sarat dengan kemunafikan dan kekeringan spiritual membuat beliau terus mempertanyakan kebenaran. Puncak keguncangan ini membuat beliau sakit sehingga tidak mampu untuk berbicara dan mengajar. Para dokter yang berusaha mengobati beliau menyerah dan menyatakan bahwa hanya beliau sendiri yang dapat menyembuhkan dirinya sendiri.

Dalam keguncangan itu beliau menemukan dirinya berada dalam bahaya. Beliau menemukan dirinya terjerat pada berbagai ketergantungan. Amalnya terjerat dalam tujuan duniawiah, jauh dari keikhlasan. Kegoncangan puncak ini berlangsung selama enam bulan. Beliau terombang-ambing oleh tarikan akhirat dan syahwat dunia.

Akhirnya panggilan akhirat menang, beliau meninggalkan segala kedudukan dan pangkat. Beliau pergi berkholwat ke Palestina. Beliau mengganti membaca dan berdebat menjadi tafakkur, mujahadah dan riyadoh.

Di Qubbatus Sakhro Palestina beliau berkholwat 40 hari. Beliau temukan ilmu yang belum beliau ketahui. Ilmu ini membebaskan dan membersihkan ilmu yang telah dimilikinya. Pada 40 hari berikutnya beliau temukan ilmu yang membersihkan ilmu yang sebelumnya. Pada 40 hari ketiga beliau temukan ilmu yang membersihkan ilmu yang sebelumnya.

Setelah kholwat ini beliau tampil sebagai ulama sufi yang paripurna. Muncullah satu karya besar yang menjadi rujukan setelah Al-Quran dan As-Sunnah. Ihya Ulumiddin karya monumental luar biasa yang isinya dipandang para ulama seakan wahyu atau ilham. Kitab yang memenuhi kebutuhan para pencari ke-benaran - penjelasan paripurna tentang Al-Quran dan As-Sunnah.

Selesai wudu dan shalat subuh Senin 14 Jumadil Akhir 505 H / 18 De-sember 1111 M Al-Gozali minta diam-bilkan kain kafan. Kain itu beliau cium dan letakkan pada kedua matanya sera-ya berkata, "Dengan segala ketaatan aku siap untuk menjemput Malaikat Maut". Beliau menjulurkan kakinya menghadap kiblat kemudian wafat.
Selengkapnya...

Jumat, 10 Oktober 2008

HADROTUSY SYAIKH AJENGAN ILYAS CIPASUNG


“Demi Allah,

sejak kecil belum ada orang (masyarakat) cipasung

yang merasa sakit hati oleh Ajengan Ilyas” masyarakat Cipasung

19 Desember 2007 aku menangis kedua kalinya karena kehilangan Cipasung. Untuk keduakalinya aku kehilangan orang yang betul-betul mempengaruhi jalan hidupku. Beberapa tahun yang lalu, aku menangis di Cipasung ketika Abah Ajengan Ado Hadori di makamkan. Hari ini, 19 Desember 2007 aku menangis karena Bapa Ajengan Ilyas juga harus pergi meninggalkanku memenuhi panggilan Allah.

Kutuliskan kenangan yang dapat kuungkap. Ayahanda, Guruku tercinta, ini sebagian kenanganku bersama dirimu.

Tahun 1989, ketika pertama kujejakan kaki di pesantren yang bernama Cipasung, aku terkejut. Kiai yang aku bayangkan sama sekali tidak nampak pada diri Ajengan Ilyas. Dalam bayanganku, seorang kiai besar adalah orang berjubah dan berikat kepala serban. Ajengan Ilyas yang kutemui adalah sosok yang jauh dari itu semua. Beliau hanya seorang yang berbaju layaknya orang biasa berkopiah hitam. Pupuslah bayangan bertemu dengan seorang kiai, wali dengan segala karomahnya sebagaimana yang ada dalam romatisme imajinasiku.

Tapi…, kujalani pula kehidupan sebagai santri Cipasung. Itu pilihanku, setelah orang tuaku memberikan pilihan berguru di pasantren Cipasung Tasikmalaya, di pasantren Mama Falah Bogor, atau di pasantren Sumur Bandung Cililin.

Berhari-hari aku tidak menemukan sesuatu yang istimewa. Sampai aku lihat betapa beliau masih berjalan-jalan dengan membawa lembaran-lembaran kitab kuning yang tergulung di tangannya. Beliau berjalan, berhenti sejenak, membuka gulungan, membaca, menggulung kembali, kemudian berjalan kembali. Terus seperti itu. Saat itulah aku melihat sosok yang tidak berhenti untuk belajar. Kulihat seorang kiai yang tidak merasa dirinya pandai. Aku tersentak, sedangkan aku…. kapan aku belajar dan menghapal. Aku hanya anak nakal yang tak pernah mau belajar, mungkin aku sombong karena nilaiku ulanganku sudah baik.

Di saat yang lain, aku lihat beliau menjemur sendiri handuk dan pakaiannya. Ooo… beliau masih melakukannya sendiri.

Di hari yang lain, saat pasantren masih liburan. Saat suasana masih sepi, aku sudah kembali hadir di Cipasung. Hari itu aku mengantar temanku untuk menemui beliau setelah pulang kampung. Beliau menerima kedua temanku di ruang tamu. Aku pun pergi meninggalkan rumah beliau dan duduk di pintu masjid di depan rumah beliau menunggu temanku selesai bertemu beliau.

Ketika temanku keluar, aku dimarahi mereka. Mengapa kamu keluar ? Kami malu, kami ini kan santri beliau, tadi kami disuguhi langsung dengan hidangan yang beliau bawa dan sajikan sendiri.

Aku kaget kembali. Baru ku tahu satu lagi akhlak mulia beliau.

Aku salah satu santri yang banyak masalah dan nakal. Pada santri – santri senior aku sering ngobrol dan mempertanyakan banyak hal. Mereka memberi nasehat untuk berbicara langsung meminta nasehat kepada beliau. Kakak- kakak senior katakan bahwa mereka pun biasa seperti itu dan selalu mendapatkan jalan keluar dan penjelasan yang memuaskan dari beliau.

Satu hari ku temui beliau. Aku bertanya. Dan ….. sungguh di luar dugaan. Aku tidak mendapatkan jawaban. Aku hanya ditunjukan dua jilid kitab di lemari beliau yang harus aku baca. Waktu itu aku belum dapat membaca kitab kuning seperti itu. Aku pun kecewa dan menyimpan pertanyaan. Kok… mengapa yang lain dijawab, aku disuruh membaca sendiri.

Tapi… mungkin itu pula yang memicu aku untuk belajar lebih giat agar cepat dapat membaca sendiri kitab kuning. Dan hari ini, aku merasakan betul, bahwa banyak situasi dan kondisi yang aku hadapi memaksaku harus membaca sendiri. Luar biasa….., mungkin itu maksud beliau dahulu.

Saat tiba waktu ujian kelas III SMP, teman –temanku bertebaran menemui berbagai “kiai”. Mereka pulang membawa aneka “wirid” untuk sukses ujian. Aku ingin pula, kutemui Ajengan Ilyas. Aku minta do’a dari beliau. Beliau katakan, “Dido’akan tapi jangan lupa tetaplah belajar, menghapallah” Aku tidak mendapatkan satu kalimah “wirid” pun dari beliau.

Saat pengumuman EBTANAS, alhamdu lillah aku mendapatkan nilai terbaik di antara teman-temanku.

Di hari-hari pertamaku di SMA, teh Nong Daro Mahmada bertanya padaku, “Apa yang dilakukan sehingga mendapat nilai yang baik di EBTANAS SMP ?” Aku katakan,“Aku minta do’a pada Ajengan Ilyas. Aku tidak mendapatkan satu kalimah pun. Mungkin beliau sendiri yang berdo’a untuku. Aku yakin beliau lebih dekat dengan Allah daripadaku”.

Suatu hari temanku anak kelas III Aliyah berbicara kepada beliau, “Saya ke Cipasung mau ngaji, tapi sampai di sini malah pacaran. Apa yang harus saya lakukan ?” Belum menjawab, “Wajarlah menyukai lawan jenis kamu kan sudah dewasa. Kalau itu baik teruskanlah”. Temanku pun merenung, kemudian ia memutuskan untuk berhenti pacaran. Aku pun sadar, beliau ayah dan guru yang bijak. Beliau membawa muridnya untuk memahami masalah dan mandiri dalam mengambil keputusan.

Suatu hari kenakalanku muncul kembali. Aku menemui beliau dan menyampaikan kritik tentang Cipasung. Santri mengkritik kiainya – mengkritik pasantrennya.. Saat itu beliau tersenyum.

Hari ini ketika ku dengar anak SMP, SMA dan mahasiswa yang berbicara menggebu – gebu, mengkritik, aku pun tersenyum. Mungkin senyum yang sama seperti senyum beliau dahulu kepadaku. Ya….. anak SMP, SMA atau mahasiswa lah. Wajar saja. Mungkin mereka memang baru sampai di sana.

Saat ku jelajahkan kakiku ke berbagai pasantren yang lain, kutemui.betapa Ajengan Ilyas sangat dihormati. Ketika aku di Pasantren Krapyak Yogyakarta, ketika aku mempunyai pendapat lain dan dapat menyampaikan argumentasinya, teman-teman berkomentar, “Murid Ajengan Ilyas kok dilawan”

Saat aku mencoba mengabadikan biografi beliau, aku berkeliling. Di masyarakat Cipasung kutemukan mereka berani bersumpah bahwa sejak kecil tidak ada orang (masyarakat) Cipasung yang pernah merasa sakit hati oleh beliau. Berurai air mataku. Itu akhlaq guruku, bagaimana dengan aku ….?

Kutemukan pula, Ajengan Ilyas adalah orang yang tak pernah marah. Dalam obrolanku dengan Kang Iip D. Yahya dan Hilman, terungkap canda, “Marilah kita buat mazhab baru, yaitu mazhab Ilyasiyyah Ruhiyyah”. Kalau orang bertanya ajarannya, kami akan jawab, “Ajarannya adalah tidak marah”.

Mungkin secara hiperbolis aku boleh berkata, “Ajengan Ilyas “prophet” jaman ini” Manusia mana yangtak pernah menyakiti orang sejak kecil. Manusia mana yang tak pernah marah. Hanya “prophet” orangnya.

Saat ramadhan lalu, ketika beliau terbaring sakit. Kami beberapa murid beliau berkumpul dan mengobrol. Kami bersepakat, kalau beliau hendak Allah panggil, panggillah dalam keadaan suci sebagai hamba yang rido dan diridoi. Kami rela karean kami yakin beliau dipanggil untuk mendapatkan limpahan karunia kasih sayang Allah bukan untuk menerima siksa-Nya. Aku berpikir, “Biarlah beliau menghadap Allah dalam kesucian dan meninggalkanku yang saat ini masih nakal, semoga di akhirat nanti beliau dapat memberiku syafa’at”.

Saat beliau wafat, saat Kang Acep Zamzam sampaikan bahwa beliau selalu beramanat agar melakukan sesuatu yang bermanfaat dan maslahat untuk umat, aku menangis. Saat beliau sakit aku masih egois, masih berpikir syafa’at untuk diriku. Beliau, Ajengan Ilyas, guruku telah jauh meninggalkanku. Beliau telah mendekati Rosululloh, menjadi hamba yang memikirkan umat melepaskan kepentingan pribadi.

Hari ini aku menangis, ya Allah salah satu guruku telah kembali Engkau panggil. Bagaimana hamba-Mu ini melanjutkan perjalanannya ? Diriku masih hamba-Mu yang nakal, masih hamba-Mu yang perlu banyak bimbingan. Apakah kiamat sudah dekat, sehingga orang-orang yang Engkau cintai satu demi satu Engkau panggil ? Bagaimana dengan aku, apakah aku hamba-Mu yang Engkau cintai pula ?

Masih kuingat – wahai Ajengan Ilyas – ketika aku berangkat dari rumahmu untuk menuju pasantren Bantar Gedang diantar Abah Ajengan Ado Hadori serta ayah bundaku, engkau berdo’a untukku, “Allohummarzuqna fahmal anbiya wa hifzol mursalin wa ilhamal malaikatil muqorribin……” Amin. Semoga do’a itu menjadi salah satu bagian penting dan indah dalam perjalanan kehambaanku menuju kepada Allah SWT. Amin.

Allohummag fir lahu war hamhu wa ‘afihi wa’fu anhu. Allohumma la tahrimna ajrohu wa la taftinna ba’da hu wagfir lana walahu. Birohmatika Ya Arhamar rohimin. Amiin Ya Robbal ‘alamin. Amin Ya Mujibas sailin. ***

Selengkapnya...