Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un -Telah Wafat KH Sahal Mahfuzh Kajen Pati Jawa Tengah (Rois 'Aam PBNU dan Ketua Umum MUI- lahul fatihah

Sabtu, 10 Januari 2009

AJENGAN ILYAS : SUFI ABAD INI


Satu tahun telah berlalu saat umat Islam kehilangan pembimbingnya yang penuh dengan kesantunan. Seorang ulama besar telah wafat 8 Zulhijjah 1428 H bertepatan 18 Desember 2007. Beliaulah Ajengan Ilyas Cipasung – Pimpinan Pesantren Cipasung Tasikmalaya Generasi Kedua.

Ajengan Ilyas lahir hari Ahad, 12 Rabi’ul Awwal 1353 H bertepatan dengan 31 januari 1934. Beliau lahir dari ayah bernama Ruhiyat dan ibu bernama Aisyah. Ayah beliau adalah perintis, pendiri dan pemimpin pertama pesantren Cipasung.

SILSILAH ILMU
Ayah beliau adalah guru beliau. Ajengan Ilyas adalah murid asli Cipasung. Ajengan Ilyas adalah murid ayahnya – Abah Ajengan Cipasung. Beliau tidak pernah belajar di pesantren manapun selain pesantren Cipasung.

Dari ayah inilah silsilah ilmu beliau tersambung dengan para ulama besar yang memiliki silsilah sampai ke Rasulullah Muhammad s.a.w. Ayah beliau – Ajengan Ruhiat bin Abdul Gofur - adalah murid dari Ajengan Syabandi bin Hasan Pesantren Cilenga Tasikmalaya dan Ajengan Toha bin Hasan Bisyri Pesantren Cintawana Tasikmalaya.

Ajengan Syabandi dan Ajengan Toha adalah murid Syekh Mahfuzh bin Abdullah At-Tarmasi. Beliau ulama besar di masjidil Harom yang berasal dari Tremas Jawa Timur.

Di Syaikh Mahfuzh At-Tarmasi ini bertemulah silsilah Ajengan Ilyas dan KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng dan ulama-ulama Indonesia lainnya, terutama yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ulama Jawa Tengah dan Jawa Timur mayoritas bersilsilah kepada K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng.

Syaikh Mahfuzh adalah salah satu ulama pemegang sanad resmi sohih bukhori. Beliau bersilsilah tersambung langsung sampai ke Imam Al-Bukhori. Imam Al-Bukhori bersilsilah sohih sampai ke Rasulullah Muhammad s.a.w.

Silsilah Syaikh Mahfuz sampai Imam Bukhori selengkapnya adalah sebagai berikut :
Syaikh Mahfuzh bin Abdullah At-Tarmasi, murid dari
Syaikh Syu’aib bin Abdurrahman Ash-Shiddiqi, murid dari (ijazah dari)
Syaikh Abdullah Al-Qaduli, murid dari
Syaikh Hasan bin ‘Umar Asy-Syatha, murid dari
Syaikh Musthofa Ar-Rahibani, murid dari
Syaikh Ahmad Al-Ba’li, murid dari
Syaikh Abdul Qadir Ats-Tsa’labi, murid dari
Syaikh ‘Abdul Baqi Al-Hanbali, murid dari
Syaikh Ibnu ‘Abdirrahman Al-Hijazi, murid dari
Syaikh Muhammad binMuhammad yang dikenal dengan nama Ibnu Arkamasi, murid dari
Syaikh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, murid dari
Syaikh Ibrahim bin Abdul mu’min Al-Ba’li, murid dari
Syaikh Ahmad bin Abi Thalib Ash-Shalihi Al-Hijazi, murid dari
Syaikh Husain binMubarak Az-Zubaidi, murid dari
Syaikh ‘Abdul Awwal bin ‘Isa Al-Harawi, murid dari
Pensyarah pertama untuk Al-Bukhori, yaitu Syaikh Abdur rahman bin Muhammad Ad-Dawudi, murid dari
Syaikh Abdullah bin Ahmad As-Sarkhasi, murid dari
Syaikh Muhammad Yusuf Al-Qarairi,murid dari
Imam ibnu Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari
terus bersilsilah dengan sanad sohih sampai Rasulullah Muhammad s.a.w. (lihat sanad setiap hadis dalam sohih bukhori)
Dalam fiqh Imam Al-Bukhori adalah penganut mazhab Syafi’i. Imam Al-Bukhori adalah murid dari Imam Abu Bakar Abdullah bin Zubair bin ‘Isa Al-Humaidi, Imam Abu ‘Ali Husein bin ‘Ali Al-Karabisi dan Imam Hasan bin Muhammad Ash-Shabah Az-Za’farani. Ketiga guru Imam al-Bukhori itu adalah murid langsung dari Imam Asy-Syafi’i.

Silsilah ilmiyah lain dari Syaikh Mahfuzh At-Tarmasi adalah sebagai berikut :
Syaikh Mahfuzh bin Abdullah At-Tarmasi murid dari
Sayyid Abu Bakar Syatho Al-Makki dan Sayyid Muhammad Amin Al-Madani, murid dari
Sayyid Muhammad bin Zaini Dahlan dan Syaikh Abdul Hamid Asy-Syarwani, murid dari
Syaikh Utsman bin Hasan Dimyathi dan Syaikh Ibrahim Al-Baijuri, murid dari
Syaikh Abdullah bin Hijazi As-Syarqawi, murid dari
Syaikh Syamsun Muhammad bin Salim Al-Hifni, murid dari
Syaikh Muhammad bin muhammad Al-Budairi, murid dari
Syaikh ‘Ali bin ‘Ali Asy-Syibromalisi, murid dari
Syaikh ‘Ali Al-Halabi, murid dari
Syaikh Nur al-Ziyadi, murid dari
Sayyid Yusuf Al-Armayuni

Bila kita telaah sejarah, maka kita akan menemukan terus kaitan guru dan murid para ulama tersebut. Kaitan guru dan murid itu jalin menjalin. Silsilahnya akan sampai kepada Baginda Nabi Besar Muhammad s.a.w.

Dengan silsilah itu, jelaslah ilmu ajengan Ilyas Cipasung bersumber dan bersanad sampai ke Rasulullah Muhammad s.a.w. dari berbagai jalan sanad.

TELADAN PRAKTEK BERAGAMA
Seorang sahabat berdiri di hadapan Rasulullah Muhammad s.a.w., ia bertanya, “Wahai Rosulallah ! Apakah agama itu ?”

Rasulullah s.a.w. menjawab, “Akhlaq yang baik”.

Ia pindah ke sebelah kanan dan bertanya kembali, “Wahai Rosulullah ! Apakah agama itu ?

Rasulullah s.a.w. menjawab, “Akhlaq yang baik”.

Ia pindah ke sebelah kiri dan kembali bertanya, “Wahai Rasulullah ! Apakah agama itu ?

Rasulullah s.a.w. kembali menjawab, “Akhlaq yang baik”.

Sahabat ini berpindah lagi. Dari arah belakang ia bertanya, “Wahai Rasulullah ! Apakah agama itu ?”

Rasulullah s.a.w. menoleh kepadanya dan berkata, “Apakah engkau belum mengerti ? Agama ialah engkau tidak boleh marah”.

Merujuk hadis tersebut, kita temukan agama pada ajengan Ilyas Ruhiyat. Semua orang yang bergaul dan dekat dengan beliau bersaksi tentang pribadinya yang bisa dikatakan tidak pernah menampakkan ekspresi marah sekali pun dalam seumur hidup beliau.

Keluarga ajengan Ilyas mengingat, hanya sekitar dua kali kejadian yang "bisa dikatakan" beliau marah. Itu pun karena memang ada kenakalan putra sulung beliau yang dipandang memang sudah keterlaluan.

Saat penulis berkeliling ke masyarakat Cipasung, orang-orang bersaksi dengan keberanian bersumpah bahwa tidak ada satu pun yang pernah sakait hati oleh ajengan Ilyas sejak beliau masih kanak-kanak.

Kesaksian itu dikuatkan oleh seorang ulama yang berbeda pendapat dengan ajengan Ilyas dalam hal-hal keagamaan. Ulama ini tidak sempat bertakziah saat ajengan Ilyas wafat. Saat bertemu dengan menantu ajengan Ilyas, beliau berkomentar, “Ayahmu itu orang yang tidak memiliki dosa”

Kemampuan tidak marah ini pula yang membuat sebagian murid beliau dalam obrolan pernah berseloroh untuk mendirikan mazhab Ilyas Ruhiyat. Ajaran mazhab itu adalah tidak boleh marah. Siapa yang masih marah-marah tidak lulus menjadi pengikut mazhab ini. Nampaknya kalau mazhab ini jadi dibentuk, maka hampir tidak akan ada pengikutnya di zaman ini. Hampir tidak ada orang di zaman ini yang sudah tidak marah-marah.

GURU YANG BAIK
Guru yang terbaik bukanlah guru yang sekedar mengajar dengan ucapannya. Guru terbaik adalah mereka yang mengajar dengan keteladanannya. Ajengan Ilyas adalah salah satunya.

Beliau bukan sekedar guru yang memerintahkan murid-muridnya untuk giat belajar. Penulis masih melihat beliau berjalan-jalan dengan membawa lembaran-lembaran kitab kuning yang tergulung di tangannya. Beliau berjalan, berhenti sejenak, membuka gulungan, membaca, menggulung kembali, kemudian berjalan kembali. Terus seperti itu. Sosok orang yang tidak berhenti belajar. Sosok yang tidak merasa dirinya pandai. Sosok yang mengajar dengan keteladanan.

Beliau guru yang memahami kondisi dan karakter muridnya. Beraneka murid, ajengan Ilyas perlakukan dengan berbeda. Setelah berlalu waktu, saat murid-murid itu dewasa dan mandiri, mereka baru paham mengapa ajengan Ilyas dulu memperlakukannya demikian.

Penulis pernah kecewa karena tidak mendapatkan penjelasan dari masalah yang ditanyakan, sedangkan banyak santri yang lebih senior bila bertanya beliau jawab dan jelaskan. Penulis ketika bertanya malahan beliau tunjukkan kitab untuk penulis baca sendiri, padahal saat itu penulis belum dapat membacanya.

Saat ini, penulis merasakan manfaatnya. Penulis sering berada dalam situasi dan kondisi yang harus membaca dan menelaah sendiri. Penulis sering dihadapkan pada masalah yang harus dijawab dan situasinya sulit menemui tempat bertanya.

Beliau hanya tersenyum saat santri-santri Cipasung yang belia - usia SMA dan SMP - mengkritik Cipasung. Murid pengkritik itu sekarang pun tersenyum saat menemukan anak-anak, remaja dan anak-anak muda yang menggebu-gebu mengkritik. Mereka tersenyum, seperti guru mereka tersenyum dahulu, “Hmmm, ya mereka masih belia, mereka baru sampai di sana. Wajar saja”.

Beliau guru yang tetap mengajari syari’at yang berisi hakikat. Santri yang datang mencari “wirid” tertentu saat akan ujian, beliau nasehati untuk rajin menghapal dan berdo’a memohon kepada Allah. Beliau pun berkata akan mendo’akan muridnya yang datang itu.

Seorang santri beliau telah lulus menjadi sarjana. Ia ingin bekerja. Ke sana ke mari ai melamar pekerjaan. Tidak ada satu pun yang menerima ia bekerja. Santri ia akhirnya datang menemui gurunya, ajengan Ilyas. Ia bertanya, “Bapak, apa yang harus saya lakukan ? Mengapa saya ke sana ke mari mencari pekerjaan tidak juga mendapatkannya ?”

Ajengan Ilyas menjawab, “Sekarang sih,kamu bersyukur saja lebih dahulu sudah dapat menjadi sarjana. Banyak orang yang jangankan jadi sarjana, kuliah pun mereka tidak bisa”.

Kembalilah santri ini dan merenung. Ia mencoba membangun rasa syukur dalam dirinya. Setelah sekitar seminggu bergulat dengan upaya syukur itu, ia didatangi orang yang menawarkan pekerjaan. Ingatlah “allah menambahi nikmat bagi orang yang bersyukur”

AYAH DAN SUAMI YANG BIJAKSANA
Penulis pernah bertanya kepada ajengan Ilyas, “Apakah bapak tidak ingin mempunyai anak yang meneruskan bapak memimpin pesantren ?”

Ajengan Ilyas menjawab, “Sebagai seorang ayah, jelas ingin ada anak yang meneruskan”.

Penulis kembali bertanya, “Tapi mengapa tidak satu pun putera atau menantu beliau yang tampil menuju menjadi ajengan ?”

Beliau menjawab, “Rasulullah menjelaskan, setiap orang mempunyai jalan hidupnya masing-masing. Setiap orang akan dimudahkan bila menempuh jalan hidupnya itu”.

Pantaslah beliau sampai akhir hayat tidak pernah menjadi orang yang memaksakan kehendaknya pada orang lain. Sebagai ayah, beliau memberikan kebebasan pada anaknya untuk memilih jalan hidupnya masing-masing.

Ajengan Ilyas adalah seorang suami sangat mempercayai istrinya. Beliau memberikan wewenang penuh pada istrinya untuk mengelola rumah tangga. Ajengan Ilyas selalu memberi apresiasi positif dan dukungan pada inisiatif-inisiatif istrinya. Istri yang ketika menikah dengan beliau memiliki keterbatasan pengetahuan berkembang bersama beliau.

Saat menikah, wanita yang lebih dewasa sering memperolok kemampuan mengaji Dedeh Fuadah – istri beliau. Saat istri beliau ini wafat, ilmunya sudah tidak disangsikan lagi. Pengajian rutin wanita di kamis sore yang beliau pimpin dihadiri ratusan orang dari berbagai kampung dan desa. Ajengan Ilyas sukses membawa istrinya untuk maju.

ULAMA YANG HATI-HATI
Seorang teman penulis pernah menemui ajengan Ilyas untuk meminta beliau membuat karya berupa penjuelasan Kitab Hikam karya Syaikh Ibnu ‘Athaillah. Saat itu kondisi mata beliau sudah mulai sangat sulit untuk dipergunakan membaca. Teman saya merasa itu bukan hal sulit bagi ajengan Ilyas, karena beliau telah bertaun-tahun mengjai dan mengajarkan kitab Hikam itu.

Namun, ternyata beliau menolak. Beliau berkata, “Bapak sudah sulit membaca”.

Teman saya meminta ulang, “Biarlah bapak cukup menjelaskan saja, biar kami yang membaca dan menuliskan penjelasan bapak. Nanti setelah kami tulis, kami bacakan lagi untuk bapak koreksi”.

Ajengan Ilyas menjawab, “Bukan itu masalahnya. Bapak sulit untuk muthala’ah. Bapak tidak mau menjelaskan tanpa menelaah lebih dahulu”

Kami tercengang. Bukankah kitab itu sudah bertahun-tahun beliau telaah, beliau pelajari dan beliau ajarakan. Menurut kami apa susahnya bagi beliau, tinggal menjelaskan saja. Namun, ternyata beliau memilih untuk berhati-hati - tidak menjadi orang sok tahu.

Saat Ajengan Ilyas menjadi Rais ‘aam PBNU terjadi geger karena perilaku kontroversial Gus Dur. Seorang santri bertanya, “Pak, bagaimana Gus Dur ini ?” Ajengan Ilyas menjawab, “Tidak tahu. Bapak belum bertemu dengan Gus Dur. Nanti saja ya setelahbapak bertemu dan menanyakan pada Gus Dur”. Rais ‘aam yang hati-hati. Tidak sok tahu. Tidak berkomentar apalagi memvonis sebleum melakukan tabayun (klarifikasi).

Tidak banyak yang tahu bahwa yang dimakan sehari-hari oleh ajengan Ilyas hanyalah dari hasil lahan pertanian dan bila ada kiriman dari santrinya. Gaji-gaji di lembaga tinggi negara, seperti DPA (dewan Pertimbangan Agung) beliau kumpulkan utuh dan tidak pernah beliau pergunakan untuk makan. Adapun yang beliau pergunakan hanya uang transportasi untuk membeli bensin dan ongkos perjalanan dalam melaksanakan tugasnya sebagai anggota lembaga tinggi negara.

Di tempat-tempat makan yang beliau tidak yakin dengan kehalalan sembelihannya, beliau tidak menghindarkan pergi dari sana. Beliau tetap menghormati yang menjamu dan yang ikut serta di sana. Beliau hanya memilih menu ikan untuk beliau makan dan menghindari menu daging-daging sembelihan. Ikan selalu halal untuk dimakan tanpa harus disembelih. Beliau lakukan tanpa komentar dan tanpa ribut-ribut memberitahu orang lain.

MURID YANG MENGHORMATI GURUNYA
Ajengan Ilyas adalah murid ayahnya. Abah begitu ayah beliau dipanggil. Ajengan Ilyas sering mengatakan sesuatu dengan tambahan, “Begitulah yang saya dapatkan dari abah” atau “Begitulah menurut abah”.

PRIBADI MANDIRI DAN SEDERHANA
Ajengan Ilyas termasuk orang yang senang mengerjakan sesuatu sendiri. Beliau tidak meminta tolong orang lain, untuk apa yang bisa beliau lakukan sendiri. Beliau masih menjemur handuk sendiri. Beliau masih mengambil makanan sedniri. Beliau masih mencuci sendiri piring bekas makannya. Beliau masih menyapu rumah sendiri. Beliau tidak pernah mengangkat telunjuk untuk memerintah orang lain, walau itu santri beliau sendiri.

Beliau adalah orang yang tidak pernah rewel tentang makanan. Sejak kecil beliau selalu makan apa yang ada. Beliau tidak pernah mengeluh bila makanan itu tidak sesuai selera atau pun hanya seadanya. Bahkan dalam perjalanan jauh pun beliau senang membawa sendiri makanan dari rumah. Kalaupun singgah, beliau singgah di tempat-tempat yang sederhana.

Mobil yang beliau tumpangi seringkali sulit menemukan tempat parkir. Dalam acara yang resmi mengundang beliau sebagai pembicara utama pun, mobil beliau sulit mendapat tempat parkir. Apalagi dalam acara penting yang menghadirkan tokoh-tokoh dan para pejabat.

Sulit tempat parkir terjadi hanya karena mobil beliau dipandang bukan mobil layak untuk parkir di sana. Mobil beliau dipandang terlalu sederhana untuk mereka yang hadir di tempat itu. Bila yang lain datang dengan mobil bagus yang “sangat representatif”, beliau hanya datang daihatsu hijet atau daihatsu zebra yang tak ber AC.

TUAN RUMAH YANG BAIK
Ajengan Ilyas selalu menerima tamu, siapa pun yang datang. Selama masih sanggup, walau dalam kondisi kurang sehat beliau tetap menemui dan menemani tamunya. Beliau tidak membedakan siapa pun tamu itu. Ketika di rumah tidak ada orang yang membantu di rumah, tanpa risi beliau menghidangkan sendiri jamuan untuk tamu-tamunya. Bahkan beliau rela menghidangkan sendiri jamuan itu, walaupun tamu itu adalah santri beliau sendiri yang baru pulang dari desanya.

Nong Daro Mahmada seorang aktifis Jaringan Islam Liberal (JIL) bercerita. Saat orang banyak menghujat JIL, ajengan Ilyas masih memberi senyum manis saat Nong Daro Mahmada menemui beliau.


Hmmmm..... nampaknya beliau sangat memahami surat Abasa.

AJENGAN SANTUN YANG TEGUH
Saat Indonesia dan Malaysia ramai dengan fenomena Darul Arqam, muncul fatwa dari Malaysia dan pemerintah Indonesia melalui MUI bahwa darul Arqam sesat. Saat itu, setelah menelaah buku dan penjelasan dari Darul Arqam, ajengan Ilyas dengan tegas mengatakan Darul Arqam tidak sesat. Mereka masih berada dalam koridor ahlus sunnah wal jama’ah.

Beliau berpendapat, “Amalan dan wirid yang mereka baca bukanlah kesesatan. Amalan dan wirid seperti itu adalah hal biasa dalam thariqah. Pertemuan dengan nabi dan malaikat Jibril dalam mimpi juga hal biasa dalam thariqah. Benar atau tidaknya pengakuan itu adalah masalah pribadi yangtidak bisa dimasuki orang lain”.

Beliau memegang teguih pendirian itu walaupun beliau sendirian di MUI yang berpendapat demikian. Beliau teguh pula menjelaskan pendapat itu, saat harus menemui pemerintah Malaysia sebagai anggota delegasi perwakilan Indonesia.

NASEHAT AJENGAN ILYAS
Banyak nasehat yang ajengan Ilyas sampaikan, baik pada keluarga maupun para santrinya. Salah satu yang sering beliau sampaikan, “Janganlah kaget menemukan kekeruhan selama masih hidup di alam dunia ini. Karena alam dunia memang tempat kekeruhan. Tempat yang tidak ada kekeruhan adalah surga Allah”.

Nasehat itu adalah bagian dari mutiara hikmah dalam kitab hikam karya syaikh Ibnu Athailllah As-Sukandari q.s. Nasehat itu, tampaknya bukan sekedar nasehat lisan, namun sudah beliau tampakkan dalam hidup keseharian. Beliau memberikan teladan bagaimana tetap tenang dalam kondisi seperti apapun. Bahkan mungkin ajengan Ilyas telah sampai pada yang dikatakan para sesepuh di Sunda dengan “teu nanaon ku nanaon jeung teu nanaon ku teu nanaon”. Itulah bentuk penghayatan dan pengamalan Al-Quran surat Al-Hadid ayat 23 : (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.

Mungkin itulah salah satu resep utama beliau sehingga mampu menjadi orang yang sangat hilm dan sabar. Itulah kunci menjadi orang yang tidak marah-marah. Mungkin itu yang bisa dijadikan kaidah pokok “mazhab ilyas ruhiyat” bila para santri beliau ingin mewujudkannya.

KARAMAH AJENGAN ILYAS
Syaikh Abu Yazid Al-Busthami q.s. berkata, “Al-istiqamah lebih baik dari seribu karamah”.

Mungkin kaidah itu yang tepat untuk menilai sosok ajengan Ilyas. Tidak ada kisah aneh dan gaib yang menyertai perjalanan hidup beliau. Beliau menjalani hidup seperti manusia biasa. Beliau tampil dan dikenal biasa-biasa saja.

Yang istimewa pada beliau hanyalah keistiqamahannya dalam berzikir, beribadah dan akhlaq yang mulia. Beliua istiqamah dalam kesantuna. Beliau istiqamah untuk tidak marah dan menjalani hidup penuh dengan kesabaran.

Mungkin hal yang gaib yang jadi perbincangan hanyalah kejadian di saat beliau wafat. Saat jenazah beliau dipindahkan dari rumah menuju masjid, melesatlah pelangi ke angkasa. Kejadian ini dilihat banyak orang. Pelangi itu nampak dalam bebarapa menit. Cuaca saat itu tidaklah memungkinkan munculnya pelangi menurut ilmu alam.

Kejadian melesatnya pelangi seperti itu di Tasikmalaya adalah kejadian kedua kali. Kejadian pertama adalah saat wafatnya ajengan Ishaq Fardi Pesantren Cintawana.

Di hari beliau wafat, ada orang yang bertemu dengan beliau saat sedang wuquf di ‘Arafah. Ia menyangka ajengan Ilyas juga berangkat haji. Ia sangat gembira, bahkan sampai mengobrol. Ia mengira ajengan Ilyas beberap lama sakit, kini telah sembuh dan mampu berangkat ibadah haji. Selesai pertemuan di ‘Arafah itu, ia ada kontak dengan Indonesia dan ia mendapatkan kabar ajengan Ilyas wafat di Tasikmalaya.

Demikian pula pada hari ajengan Ilyas wafat, di Jakarta pada sebuah acara bersama para habaib ada yang bertemu dengan ajengan Ilyas. Ia berpikir ajengan Ilyas sehat dan ikut hadir pada acara tersebut. Namun, selesai acara didapatkan kabar ajengan Ilyas telah wafat di Tasikmalaya.

PENUTUP
Ya Allah setahun sudah salah satu guruku telah kembali Engkau panggil. Bagaimana hamba-Mu ini melanjutkan perjalanannya ? Diriku masih hamba-Mu yang nakal, masih hamba-Mu yang perlu banyak bimbingan. Apakah kiamat sudah dekat, sehingga orang-orang yang Engkau cintai satu demi satu Engkau panggil ? Bagaimana dengan aku, apakah aku termasuk hamba-Mu yang Engkau cintai pula ?

Masih kuingat – wahai Ajengan Ilyas – ketika aku berangkat dari rumahmu untuk menuju pasantren Bantar Gedang diantar Abah Ajengan Ado Hadori serta ayah bundaku, engkau berdo’a untukku, “Allohummarzuqna fahmal anbiya wa hifzol mursalin wa ilhamal malaikatil muqorribin……” Amin. Semoga do’a itu menjadi salah satu bagian penting dan indah dalam perjalanan kehambaanku menuju kepada Allah SWT. Amin.Allohummag fir lahu war hamhu wa ‘afihi wa’fu anhu. Allohumma la tahrimna ajrohu wa la taftinna ba’da hu wagfir lana walahu. Birohmatika Ya Arhamar rohimin. Amiin Ya Robbal ‘alamin. Amin Ya Mujibas sailin. ***

Selengkapnya...

Jumat, 17 Oktober 2008

AL-GHAZALI ; Cahaya Kemilau Para Mursyid


Satu masa pada perjalanan kaum muslimin pernah terjadi perselisihan antara kubu fiqh (syari’ah zohir) dankubu tasowwuf (syari’ah batin). Pandangan Imam Malik r.h. bahwa orang berfiqih tanpa bertasowwuf cenderung menjadi fasiq dan bertasowwuf tanpa berfiqih cenderung menjadi zindiq, belum dapat menyatukan dan mendamaikan kedua kubu ini. Perseteruan terus berlanjut sampai tampillah Imam Al-Gozali q.s. dengan Ihya Ulumiddinnya.

Walaupun tidak semua sepakat, namun beliau secara umum berhasil mendamaikan kedua kubu tersebut. Masing-masing ditempatkan secara proporsional. Hubungan keduanya dapat dibangun dengan harmonis jalin menjalin sebagai kesatuan keIslaman.

Nama lengkap Imam Al-Gozali q.s. adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Gozali At-Tusi An Naisaburi. Beliau dilahirkan di Tus Khurosan Iran pada tahun 450 Hijriyyah bertepatan dengan 1058 Masehi.

Ayah beliau adalah seorang pemintal wol yang fakir harta tapi kaya spiritual. Ayah beliau wafat pada saat beliau masih dalam kandungan. Bersama saudara kandungnya Ahmad, Al-Gozali diasuh oleh seorang sufi teman ayahnya.

Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikan di madrasah daerah Tus. Beliau belajar fiqih kepada Ahmad bin Muhammad At-Tusi r.h.. Dari sana beliau melanjutkan ke Jurjan untuk belajar kepada Imam Abu Nasr Al-Isma’ili r.h..

Pulang dari Jurjan beliau kembali ke Tus. Di desanya ini beliau habiskan waktu tiga tahun untuk menghapal semua ilmu yang telah dicatatnya.

Semangat ilmiyyah mengantarkan beliau ke Naisabur – salah satu daerah ilmiyyah di zaman itu. Di sini beliau belajar kepada seorang ulama besar – Imam Al-Haromain Abul Ma’ali al-Juwaini r.h.

Dari Naisabur ini karir ilmiyyah Al-Gozali mulai melesat. Wawasannya berkembang luas. Penguasan terhadap berbagai ilmu berikut aliran serta sektenya semakin mendalam. Di kalangan ilmiyyah beliau dikenal sangat ahli dan piawai dalam berbagai bidang.

Di Naisabur ini beliau bertahan sampai Imam Haromain r.h. wafat. Setelah kewafatan guru tercinta tersebut, beliau melangkah menuju Bagdad.

Di Bagdad beliau mencapai kemashuran dan puncak karir. Keahlian dan kecerdasan mengantarkan beliau menjadi guru besar di An-Nizomiyyah – perguruan tinggi utama di zamannya.

Di puncak karir itu beliau mengalami keguncangan spiritual. Lingkungan ilmiyyah yang sarat dengan kemunafikan dan kekeringan spiritual membuat beliau terus mempertanyakan kebenaran. Puncak keguncangan ini membuat beliau sakit sehingga tidak mampu untuk berbicara dan mengajar. Para dokter yang berusaha mengobati beliau menyerah dan menyatakan bahwa hanya beliau sendiri yang dapat menyembuhkan dirinya sendiri.

Dalam keguncangan itu beliau menemukan dirinya berada dalam bahaya. Beliau menemukan dirinya terjerat pada berbagai ketergantungan. Amalnya terjerat dalam tujuan duniawiah, jauh dari keikhlasan. Kegoncangan puncak ini berlangsung selama enam bulan. Beliau terombang-ambing oleh tarikan akhirat dan syahwat dunia.

Akhirnya panggilan akhirat menang, beliau meninggalkan segala kedudukan dan pangkat. Beliau pergi berkholwat ke Palestina. Beliau mengganti membaca dan berdebat menjadi tafakkur, mujahadah dan riyadoh.

Di Qubbatus Sakhro Palestina beliau berkholwat 40 hari. Beliau temukan ilmu yang belum beliau ketahui. Ilmu ini membebaskan dan membersihkan ilmu yang telah dimilikinya. Pada 40 hari berikutnya beliau temukan ilmu yang membersihkan ilmu yang sebelumnya. Pada 40 hari ketiga beliau temukan ilmu yang membersihkan ilmu yang sebelumnya.

Setelah kholwat ini beliau tampil sebagai ulama sufi yang paripurna. Muncullah satu karya besar yang menjadi rujukan setelah Al-Quran dan As-Sunnah. Ihya Ulumiddin karya monumental luar biasa yang isinya dipandang para ulama seakan wahyu atau ilham. Kitab yang memenuhi kebutuhan para pencari ke-benaran - penjelasan paripurna tentang Al-Quran dan As-Sunnah.

Selesai wudu dan shalat subuh Senin 14 Jumadil Akhir 505 H / 18 De-sember 1111 M Al-Gozali minta diam-bilkan kain kafan. Kain itu beliau cium dan letakkan pada kedua matanya sera-ya berkata, "Dengan segala ketaatan aku siap untuk menjemput Malaikat Maut". Beliau menjulurkan kakinya menghadap kiblat kemudian wafat.
Selengkapnya...

Jumat, 10 Oktober 2008

HADROTUSY SYAIKH AJENGAN ILYAS CIPASUNG


“Demi Allah,

sejak kecil belum ada orang (masyarakat) cipasung

yang merasa sakit hati oleh Ajengan Ilyas” masyarakat Cipasung

19 Desember 2007 aku menangis kedua kalinya karena kehilangan Cipasung. Untuk keduakalinya aku kehilangan orang yang betul-betul mempengaruhi jalan hidupku. Beberapa tahun yang lalu, aku menangis di Cipasung ketika Abah Ajengan Ado Hadori di makamkan. Hari ini, 19 Desember 2007 aku menangis karena Bapa Ajengan Ilyas juga harus pergi meninggalkanku memenuhi panggilan Allah.

Kutuliskan kenangan yang dapat kuungkap. Ayahanda, Guruku tercinta, ini sebagian kenanganku bersama dirimu.

Tahun 1989, ketika pertama kujejakan kaki di pesantren yang bernama Cipasung, aku terkejut. Kiai yang aku bayangkan sama sekali tidak nampak pada diri Ajengan Ilyas. Dalam bayanganku, seorang kiai besar adalah orang berjubah dan berikat kepala serban. Ajengan Ilyas yang kutemui adalah sosok yang jauh dari itu semua. Beliau hanya seorang yang berbaju layaknya orang biasa berkopiah hitam. Pupuslah bayangan bertemu dengan seorang kiai, wali dengan segala karomahnya sebagaimana yang ada dalam romatisme imajinasiku.

Tapi…, kujalani pula kehidupan sebagai santri Cipasung. Itu pilihanku, setelah orang tuaku memberikan pilihan berguru di pasantren Cipasung Tasikmalaya, di pasantren Mama Falah Bogor, atau di pasantren Sumur Bandung Cililin.

Berhari-hari aku tidak menemukan sesuatu yang istimewa. Sampai aku lihat betapa beliau masih berjalan-jalan dengan membawa lembaran-lembaran kitab kuning yang tergulung di tangannya. Beliau berjalan, berhenti sejenak, membuka gulungan, membaca, menggulung kembali, kemudian berjalan kembali. Terus seperti itu. Saat itulah aku melihat sosok yang tidak berhenti untuk belajar. Kulihat seorang kiai yang tidak merasa dirinya pandai. Aku tersentak, sedangkan aku…. kapan aku belajar dan menghapal. Aku hanya anak nakal yang tak pernah mau belajar, mungkin aku sombong karena nilaiku ulanganku sudah baik.

Di saat yang lain, aku lihat beliau menjemur sendiri handuk dan pakaiannya. Ooo… beliau masih melakukannya sendiri.

Di hari yang lain, saat pasantren masih liburan. Saat suasana masih sepi, aku sudah kembali hadir di Cipasung. Hari itu aku mengantar temanku untuk menemui beliau setelah pulang kampung. Beliau menerima kedua temanku di ruang tamu. Aku pun pergi meninggalkan rumah beliau dan duduk di pintu masjid di depan rumah beliau menunggu temanku selesai bertemu beliau.

Ketika temanku keluar, aku dimarahi mereka. Mengapa kamu keluar ? Kami malu, kami ini kan santri beliau, tadi kami disuguhi langsung dengan hidangan yang beliau bawa dan sajikan sendiri.

Aku kaget kembali. Baru ku tahu satu lagi akhlak mulia beliau.

Aku salah satu santri yang banyak masalah dan nakal. Pada santri – santri senior aku sering ngobrol dan mempertanyakan banyak hal. Mereka memberi nasehat untuk berbicara langsung meminta nasehat kepada beliau. Kakak- kakak senior katakan bahwa mereka pun biasa seperti itu dan selalu mendapatkan jalan keluar dan penjelasan yang memuaskan dari beliau.

Satu hari ku temui beliau. Aku bertanya. Dan ….. sungguh di luar dugaan. Aku tidak mendapatkan jawaban. Aku hanya ditunjukan dua jilid kitab di lemari beliau yang harus aku baca. Waktu itu aku belum dapat membaca kitab kuning seperti itu. Aku pun kecewa dan menyimpan pertanyaan. Kok… mengapa yang lain dijawab, aku disuruh membaca sendiri.

Tapi… mungkin itu pula yang memicu aku untuk belajar lebih giat agar cepat dapat membaca sendiri kitab kuning. Dan hari ini, aku merasakan betul, bahwa banyak situasi dan kondisi yang aku hadapi memaksaku harus membaca sendiri. Luar biasa….., mungkin itu maksud beliau dahulu.

Saat tiba waktu ujian kelas III SMP, teman –temanku bertebaran menemui berbagai “kiai”. Mereka pulang membawa aneka “wirid” untuk sukses ujian. Aku ingin pula, kutemui Ajengan Ilyas. Aku minta do’a dari beliau. Beliau katakan, “Dido’akan tapi jangan lupa tetaplah belajar, menghapallah” Aku tidak mendapatkan satu kalimah “wirid” pun dari beliau.

Saat pengumuman EBTANAS, alhamdu lillah aku mendapatkan nilai terbaik di antara teman-temanku.

Di hari-hari pertamaku di SMA, teh Nong Daro Mahmada bertanya padaku, “Apa yang dilakukan sehingga mendapat nilai yang baik di EBTANAS SMP ?” Aku katakan,“Aku minta do’a pada Ajengan Ilyas. Aku tidak mendapatkan satu kalimah pun. Mungkin beliau sendiri yang berdo’a untuku. Aku yakin beliau lebih dekat dengan Allah daripadaku”.

Suatu hari temanku anak kelas III Aliyah berbicara kepada beliau, “Saya ke Cipasung mau ngaji, tapi sampai di sini malah pacaran. Apa yang harus saya lakukan ?” Belum menjawab, “Wajarlah menyukai lawan jenis kamu kan sudah dewasa. Kalau itu baik teruskanlah”. Temanku pun merenung, kemudian ia memutuskan untuk berhenti pacaran. Aku pun sadar, beliau ayah dan guru yang bijak. Beliau membawa muridnya untuk memahami masalah dan mandiri dalam mengambil keputusan.

Suatu hari kenakalanku muncul kembali. Aku menemui beliau dan menyampaikan kritik tentang Cipasung. Santri mengkritik kiainya – mengkritik pasantrennya.. Saat itu beliau tersenyum.

Hari ini ketika ku dengar anak SMP, SMA dan mahasiswa yang berbicara menggebu – gebu, mengkritik, aku pun tersenyum. Mungkin senyum yang sama seperti senyum beliau dahulu kepadaku. Ya….. anak SMP, SMA atau mahasiswa lah. Wajar saja. Mungkin mereka memang baru sampai di sana.

Saat ku jelajahkan kakiku ke berbagai pasantren yang lain, kutemui.betapa Ajengan Ilyas sangat dihormati. Ketika aku di Pasantren Krapyak Yogyakarta, ketika aku mempunyai pendapat lain dan dapat menyampaikan argumentasinya, teman-teman berkomentar, “Murid Ajengan Ilyas kok dilawan”

Saat aku mencoba mengabadikan biografi beliau, aku berkeliling. Di masyarakat Cipasung kutemukan mereka berani bersumpah bahwa sejak kecil tidak ada orang (masyarakat) Cipasung yang pernah merasa sakit hati oleh beliau. Berurai air mataku. Itu akhlaq guruku, bagaimana dengan aku ….?

Kutemukan pula, Ajengan Ilyas adalah orang yang tak pernah marah. Dalam obrolanku dengan Kang Iip D. Yahya dan Hilman, terungkap canda, “Marilah kita buat mazhab baru, yaitu mazhab Ilyasiyyah Ruhiyyah”. Kalau orang bertanya ajarannya, kami akan jawab, “Ajarannya adalah tidak marah”.

Mungkin secara hiperbolis aku boleh berkata, “Ajengan Ilyas “prophet” jaman ini” Manusia mana yangtak pernah menyakiti orang sejak kecil. Manusia mana yang tak pernah marah. Hanya “prophet” orangnya.

Saat ramadhan lalu, ketika beliau terbaring sakit. Kami beberapa murid beliau berkumpul dan mengobrol. Kami bersepakat, kalau beliau hendak Allah panggil, panggillah dalam keadaan suci sebagai hamba yang rido dan diridoi. Kami rela karean kami yakin beliau dipanggil untuk mendapatkan limpahan karunia kasih sayang Allah bukan untuk menerima siksa-Nya. Aku berpikir, “Biarlah beliau menghadap Allah dalam kesucian dan meninggalkanku yang saat ini masih nakal, semoga di akhirat nanti beliau dapat memberiku syafa’at”.

Saat beliau wafat, saat Kang Acep Zamzam sampaikan bahwa beliau selalu beramanat agar melakukan sesuatu yang bermanfaat dan maslahat untuk umat, aku menangis. Saat beliau sakit aku masih egois, masih berpikir syafa’at untuk diriku. Beliau, Ajengan Ilyas, guruku telah jauh meninggalkanku. Beliau telah mendekati Rosululloh, menjadi hamba yang memikirkan umat melepaskan kepentingan pribadi.

Hari ini aku menangis, ya Allah salah satu guruku telah kembali Engkau panggil. Bagaimana hamba-Mu ini melanjutkan perjalanannya ? Diriku masih hamba-Mu yang nakal, masih hamba-Mu yang perlu banyak bimbingan. Apakah kiamat sudah dekat, sehingga orang-orang yang Engkau cintai satu demi satu Engkau panggil ? Bagaimana dengan aku, apakah aku hamba-Mu yang Engkau cintai pula ?

Masih kuingat – wahai Ajengan Ilyas – ketika aku berangkat dari rumahmu untuk menuju pasantren Bantar Gedang diantar Abah Ajengan Ado Hadori serta ayah bundaku, engkau berdo’a untukku, “Allohummarzuqna fahmal anbiya wa hifzol mursalin wa ilhamal malaikatil muqorribin……” Amin. Semoga do’a itu menjadi salah satu bagian penting dan indah dalam perjalanan kehambaanku menuju kepada Allah SWT. Amin.

Allohummag fir lahu war hamhu wa ‘afihi wa’fu anhu. Allohumma la tahrimna ajrohu wa la taftinna ba’da hu wagfir lana walahu. Birohmatika Ya Arhamar rohimin. Amiin Ya Robbal ‘alamin. Amin Ya Mujibas sailin. ***

Selengkapnya...